Ada banyak cara menafsir dan merayakan hidup, seraya menjaga waras agar nyalanya tak redup. Akhir-akhir ini ritus kehidupan sosial semakin banyak dijejali oleh perkara isu-isu politik serta kompetisi untuk merebut kekuasaan. Konsekuensinya, saya ataupun Anda menjadi orang yang beririsan secara tidak langsung dengan perkara-perkara legitimasi kekuasaan. Lantas, bagaimana sebaiknya merawat nalar agak tetap terjaga ditengah kepungan informasi dan kanal-kanal media sosial yang semakin merangsek di kehidupan sehari-hari?
Catatan personal berikut adalah tafsir saya atas lagu baru Morgue Vanguard (MV) a.k.a Herry Sutresna, ‘Kontra Muerta’ yang dirilis pada 25 Mei 2019 melalui akun youtube Grimloc Records.
di kedalaman hutan yang tergelap/dan rawa yang paling senyap/jangan pernah melunak ketika datang senjakala/marah lah pada pudaran sinar/
Lirik di atas merupakan bait pertama yang menjadi prolog lagu berdurasi 4 menit 51 detik ini. Diucapkan layaknya pembacaan sebuah puisi dengan iringan musik yang mulai menggetarkan para pendengar.
Seperti pada tulisan-tulisan saya yang lain di blog ini, saya senantiasa menyatakan bahwa Ucok (sapaan akrab Herry Sutresna, penulis) adalah sosok musisi cum aktivis yang selalu konsisten dengan nilai-nilai perjuangan yang ia imani sampai hari ini. Jika Anda mempunyai waktu luang yang cukup lapang, silakan cek lagu-lagunya yang disertai dengan lirik pada laman soundcloudnya ataupun membaca catatan-catatan personal yang ia posting secara berkala pada kanal pribadinya. Dari sana, Anda barangkali akan menebak dan memberikan narasi ke mana arah pesan dari lagu-lagu yang ia ciptakan. Terlebih dengan kekuatan rima-rima yang sangat kompleks dan diksi yang rumit, Morgue Vanguard (MC MV) seolah ingin menunjukkan kemampuannya dalam meramu lirik yang berkelas dan “meretas” pikiran para pendengarnya. Untuk perkara musik atau sampling, tentu sudah tidak diragukan lagi. Ucok sepertinya memiliki referensi dalam lanskap musik Hip Hop yang sangat luas. Jika Anda ragu dengan pernyataan saya, silakan membaca buku miliknya, ‘Setelah Flip Da Skrip’ Kumpulan Catatan Rap Nerd Selama Satu Dekade’ yang terbit pada 2018 lalu.
Merakit Patahan Makna
Hidup sebagai eksil tentu saja tidak menyenangkan. Dan situasi seperti inilah yang dirasakan oleh Agam Wispi, penyair sekaligus penulis yang dibayangi status sebagai eksil pada medio 1967-an. Dalam satu wawancaranya bersama Indoprogress, Agam Wispi menyatakan bahwa selama proses eksilnya Ia sangat rindu dengan tanah air, Indonesia. Dan tentu saja, ia rindu berjumpa dengan keluarganya yang berada di kampung halaman.
Agam Wispi menuturkan bahwa Ia menulis sastra hanya untuk manusia. Pada bagian lain wawancara tersebut, Ia ditanyakan, “….bagaimana kau melihat masa depan”? Kemudian, Agam Wispi menjawab. “saya melihatnya begini. Barangkali ini ada persamaanya dengan Pram. Saya harus hidup terus. Mau melihat bagaimana jadinya semuanya ini. ‘Kan itu kan? Saya pikir situasinya sama. Bagaimana semuanya ini terjadi. Jadinya ini nanti. Dan saya mau hidup terus. Bagaimana saya harus hidup? Bagaimana saya harus hidup? Inilah puisi itu. Menurut saya, puisi itu memberi saya daya hidup. Saya terus menulis. Dan banyak yang tak terbawa (tertinggal) di Tiongkok. Banyak itu sebenarnya yang saya tulis”.
Dalam lagu ‘Kontra Muerta’, nama Agam Wispi muncul pada larik lirik, tepatnya di baris ke-15, “mencuri nyala api dari puisi Agam Wispi/hingga kebenaran tak lagi berpihak kepada nisbi/
Saya hanya melihat satu pesan dalam bait ini, serupa yang dirapal oleh Ucok dalam lagunya yang berjudul ‘Fateh’, “hidup yang menolak padam!”
Chairil, Pramoedya, Agam Wispi, Afrizal Walna, adalah deretan penyair Indonesia yang merefleksikan kehidupan sosial pada zamannya masing-masing.
Tapi Tidak Hari Ini
Ketika awal mendengarkan lagu ‘Kontra Muerta’, saya langsung terpukau dengan bagian ‘chorus’, terutama ketika digelorakan secara bersama Gndhi, Yansenist Aim. “Bakar birama macam Pramoedya bakar sampah/Kaki jejak tanah, kepala menengadah/Berpantang lalai pantangi hidup terjajah/Hingga jasad terkubur enam kaki bawah tanah/
Bait yang menyebutkan nama tuan dari Blora—Pramoedya Ananta Toer—secara spontan mengingatkan saya kepada film dokumenter tentang dirinya. Dalam salah satu bagiannya, film ini merekam keseharian Pram, membakar sampah di pekarangan rumahnya. Saya pun menjadi bertanya-tanya mengapa penulis tetralogi Pulau Buru ini melakukan hal tersebut? Dan pada puasa Ramadhan 2018, saya mendapatkan secercah jawabannya. Kala itu, saya bersama istri mengunjungi pameran arsip-arsip karya Pramoedya yang digelar pada sebuah coffee book shops di daerah Kemang. Pameran ini memajang etalase ihwal memoar Pramoedya, baik yang berupa tulisan tangan—surat-surat—maupun yang sudah diketik atau yang telah dipublikasi dipelbagai surat kabar, buku, majalah, dan sebagainya.
Selain arsip tulisan, pameran ini juga menampilkan foto-foto Pramoedya selama masa hidupnya. Salah satunya adalah ketika Pram membakar sampah. Akhirnya, saya pun mengetahui alasan mengapa Pram melakukannya.Ya, seringkas ingatan saya, hal itu dilakukan Pram sebagai upaya memutar memorinya selama Ia hidup di Pulau Buru. Sembari mengingat hal-hal pertemanannya dengan beberapa kolega selama pengasingannya di sana. Catatan ini saya peroleh dari keterangan pada foto yang dipajang dalam pameran tersebut.
Akhirnya, saya hanya bisa tertegun dan melakukan renungan atas bagian penutup lagu ini. Sebuah puisi yang dibacakan sendiri oleh Ucok, yang berjudul ‘Tidak Hari Ini’. Barisan liriknya menyimpan pesan yang sangat mendalam. Berkisah tentang perjuangan yang tidak akan pernah padam. Seraya menegaskan bahwa “inspirasi tak datang dari waktu yang menyerah/yang memberangus risalah atau sudut yang mengalah/jika ada tugas sejarah dari pedang rima sebilah/adalah mencatat semangat zaman dan mencegah/diri merapat ke barisan penyeragam ranah/
Puisi ‘Tidak Hari Ini’ juga berbicara perihal perkawanan dan memori-memori yang terbuang pada Mei sebelum reformasi tiba dan berdentang kencang hingga hari ini. Suara Cello yang dimainkan oleh E Dikara Dhiauddin Djawas sungguh menyayat, mengajak kita untuk sejenak memikirkan hari-hari yang telah hilang dan merancang segala kemungkinan untuk hari-hari yang akan datang.
Selamat merayakan!
Tidak Hari Ini
Akan tiba hari perginya ginjal dan lambungmu
Jantung berhenti, menghitung kelelahan harimu
Akan tiba hari di mana teman tak ada lagi yang tersisa
Lirik tak lagi berbisa
Dan hasrat berontak hanya tinggal sisa-sisa
Tapi tidak hari ini
Akan datang hari di mana melawan penindasan adalah kesia-siaan
Akan datang zaman yang akan memberi karpet merah bagi despot, rezim, tiran, firaun dan segala kata macam gantinya
Akan tiba waktu di mana setiap orang menjilat pantat kekuasaan dan berpura-pura menjadi pahlawan
Akan selalu ada mendung bergelayut
Kala dibantai tanpa ujung
Kala mengalah
Kala hidup tak berarti apapun
Dan kala kematian datang
Kita bisa percaya bahwa kanker kekalahan menempel pada paru-paru takdir, serupa nikotin
Dan pada akhirnya akan ada waktu berpetualang berakhir
Tapi tidak hari ini
Niscaya terbungkam, tidak hari ini
Langit pasti menutup, tapi tidak hari ini
Detaknya akan berdiri, rangkul kawan kalian kanan-kiri
Gelap pasti kan datang, tapi tidak hari ini!
untuk Jojon dan Ginan, 3 Agustus 2018
Terima kasih, MV! Terus berkarya dan sehat selalu. Salam hormat!
PS: Bagi Anda yang ingin membaca dan mengetahui secara jelas alasan dibalik rilisan lagu ‘Kontra Muerta’, silakan mampir di kanal pribadi Herry Sutresna
Untuk streaming lagu-lagu karya Ucok, silakan klik pranala soundcloud Morgue Vanguard
Wawancara Agam Wispi di Indoprogress
‘Kontra Muerta’
Lyrics written by Morgue Vanguard
Music produced by Morgue Vanguard
Additional gang vocals: Morgue Vanguard, Gndhi, Yansenist Aim
Recorded and engineered by Jay Dawn at Cutz Chamber, Bandung
Cello performed by E Dikara Dhiauddin Djawas, recorded at Pohaci Studio Bandung, engineered by Ibrahim Adi
Mixed and mastered by Hamzah Kusbiyanto
contains a portion of:
“My Favorite Things” performed by John Coltrane (1961)
“(I Know) I’m Losing You” performed by Rare Earth (1970)
“Clap Your Hands” performed by LL. Cool J. (1989)
“Kissing My Love” performed by Cold Blood (1973)
* * * * * * *
KONTRA MUERTA
di kedalaman hutan yang tergelap
dan rawa yang paling senyap
jangan pernah melunak ketika datang senjakala
marah lah pada pudaran sinar
gejolak kawula muda serupa kejang delapan tiga
bergolak gelora rima serupa pembebasan Papua
mengganti pandu dengan gelegar petir
menemukan padanan candu yang membuat Chairil menulis syair
meribak tamsil alasan hidup seorang martir
membaca tafsir graffiti Phase Two dan Zephyr
berpose b-boy stand di atas hamparan pasir
sebelum datang menagih hari filsafat sebagai martil
mengada bersama merakit patahan makna
irama abad bawa jagad serupa Afrizal Malna
mencuri nyala api dari puisi Agam Wispi
hingga kebenaran tak lagi berpihak kepada nisbi
di hari mereka membakar lembaran, kami bakar jembatan
di belakang, dengan ekstasi yang sama di hari pertama
mendengar Bad Brains dengan HeartattaCk di tangan
lewati gelapnya zaman dengan buku dan rekaman
CHORUS
Bakar birama macam Pramoedya bakar sampah
kaki jejak tanah, kepala menengadah
berpantang lalai pantangi hidup terjajah
hingga jasad terkubur enam kaki bawah tanah
inspirasi tak datang dari waktu yang menyerah
yang memberangus risalah atau sudut yang mengalah
jika ada tugas sejarah dari pedang rima sebilah
adalah mencatat semangat zaman dan mencegah
diri merapat ke barisan penyeragam ranah
pantang hidup tanpa marwah, tulis bait tanpa arwah
menggapai transendensi, ambil alih kendali
hidup yang berkubang pada mesin yang berotasi
kenali angkara di antara Thukul menyusun aksara
merancang rencana menyusun kepalan menghias angkasa
hirup kina Harry Roesli saat menulis Malaria
jatuh cinta bersama lembaran Sapardi dan Neruda
pernah kah pula kau dengar gemetar lutut tiran
saat Mentari bersinar dari petikan gitar Abah Iwan?
jantung berdegup kala membaca kisah sepenuturan
Orwell, Rendra, Nyanyian Baru Roem Topatimasang
CHORUS
tepuk tangan bagi mereka yang
menyulut bara dari derai-derai halaman
bagi hari-hari memburu nyawa pada Tetralogi Buru
berguru pada puisi Romomangun di Kali Code
dan membacakan puisi pamflet di depan Koramil
tepuk tangan bagi jalan sepi tengah malam
yang dijajaki mereka yang tak pernah jera
hidup sepenuhnya dan memaknai dunia
Rest in Peace Wahyu Permana
* * * * *
Bagian akhir: soundclip potongan dari pembacaan puisi “Tidak Hari Ini”, di Rumah Cemara, Bandung, 5 Agustus 2018.
————————————
Grimloc Records, 2019