Halaman terakhir sebuah buku selalu menjadi bagian favorit. Dari sana, salah satu hal yang bisa diperoleh adalah perihal profil singkat sang penulis.

Herry “Ucok” Sutresna menulis lepas soal music dan politik bagi beragam media dan sempat membuat fanzine dan newsletter personalnya. Ia adalah salah satu pendiri kolektif hip hop Homicide di tahun 1994. Bersama Homicide, ia sempat membuat tiga album sebelum Homicide membubarkan diri pada tahun 2007. Selepas Homicide, Ucok membuat album solonya “Fateh” dibantu DJ asal New York, Still. Ucok adalah alumni Sastra Inggris Universitas Padjajaran dan Fakultas Seni Rupa dan Desain Institut Teknologi Bandung- yang kemudian sempat aktif di Partai Rakyat Demokratik (PRD) di masa senjakala Orde Baru. Bekerja sebagai desainer grafis, Ucok masih aktif di lingkaran-lingkaran pemberdayaan sosial-politik di kotanya, Bandung, dan mendirikan label rekaman, Grimloc Records bersama dua rekan lainnya. Masih rutin menulis untuk blog/zine dan aktif bersama grup hip hop barunya, Bars of Death.

Musim panas 2016 adalah waktu untuk mudik ke kampung halaman. Tanah air selalu menyajikan beragam kisah. Salah satunya berjumpa dengan kawan-kawan lama. Ada beberapa hal yang ingin saya dapatkan selain kaos Homicide yang telah habis terjual dalam sebuah kegiatan penggalangan dana dan pengorganisasian komunitas yang ada di Bandung pada pertengahan Masehi 2016.

Buku “Setelah Boombox Usai Menyalak” adalah incaran utama setelah beberapa buku lainnya. Saya tidak memiliki relasi secara personal dengan Ucok. Akan tetapi, karya-karyanya yang secara tidak langsung membuat saya kenal dengannya. Dan itu dimulai secara intensif ketika saya mengambil studi di Kota Malang pada tahun 2005. Disana, saya mendapatkan beberapa lagu dan album Homicide. Tentu saja dengan akses internet, download dan copy dari kawan-kawan dekat. Sampai akhirnya saya mendapatkan poster album “Illsurekshun” secara gratis, pemberian seorang kawan setelah bermain ke kamar kosnya.

Sebagai seorang yang datang dari daerah kecil di kawasan Timur Indonesia, memiliki serpihan fisik dari sebuah karya favorit adalah kebanggaan dan kebahagiaan. Sampai akhirnya saya hengkang ke sana, menempel poster itu di kamar. Persis di depan meja kerja.

Bagi saya, sebanyak 27 tulisan Ucok yang ada ditampilkan dalam bukunya adalah bagian melakukan perjalanan “spiritual” mengenali sebuah musik hip hop. Saya bukan penggemar fanatik jenis musik ini. Akan tetapi, satu hal yang selalu menjadi kesenangan pribadi ketika mendengarkan musik adalah mengamati lirik-liriknya. Di hip hop saya menemukannya. Rapalan rima yang dibalut dengan metafora dan kaya dengan referensi berupa peristiwa dan buku-buku yang dieksekusi dengan sangat baik. Tentu saja, tidak ada yang meragukan kekuatan rima Homicide. Dalam beberapa kesempatan, mereka seakan memaksa untuk membuka kamus dan mencari tahu lewat obrolan bersama beberapa kawan. Dan saya melakukannya.

Pada halaman pembuka, buku ini sudah memberikan penegasan perihal kapasitas dan kualiats menulis seorang Ucok. Lihat saja, Taufiq Rahman menyatakan “Ucok adalah penulis yang baik, sangat baik malah.” Dan pada bagian selanjutnya, ia mendeskripsikan dengan sangat dalam.

Saya sangat menyelami setiap barisan aksara dalam buku ini. Banyak referensi dan sudut pandang dari seorang Ucok yang bisa dijadikan pedoman untuk menekuni dan konsisten dalam pilihan hidup. Lihat saja yang disampaikan oleh Taufiq, “Ucok menulis dengan lugas tanpa metafora dan simbolisme yang biasanya menjadi titik lemah penulis berbahasa Indonesia. Hampir semua pilihan kata adalah keputusan sadar untuk menempatkan bahasa sebagai apa yang Jurgen Habermas sebut sebagai Communicative Action. Dan dari apa yang dia pelajari dari Hegel atau mungkin Marx, tulisan Ucok, bahkan untuk tema yang remeh dan trivial adalah upaya untuk berdialog, upaya discursive dan/atau mempertanyakan konsep dan pemikiran yang dua spasi sebelumnya baru dia proposisikan. Membaca tulisan Ucok ibarat perjalanan penuh ombak dan badai James Joyce di ‘Ulysess’.”

Mengawali satu tulisan pembuka sebelum menyimak ‘Bapa’, seorang Ucok seakan menunjukkan hal yang berbeda dari yang disampaikan Taufiq. Ia menulis, “Meski pernah kulliah di fakultas sastra, saya penulis yang buruk. Membaca tulisan-tulisan banyak kawan saat kuliah cukup membuat saya sungkan untuk mempublikasikan tulisan-tulisan saya. Karena memang buruk.”

Namun, saya setuju dengan yang disampaikan oleh Taufiq. Meskipun tidak kenal secara personal dan hanya mengikuti beberapa ‘ceramahnya’ di youtube, bagi saya Ucok adalah orang yang rendah hati. Meskipun dalam kenyataannya, ia adalah seorang yang sangat perfeksionis dan memiliki energi yang besar, begitu yang disampaikan oleh rekannya dalam sebuah acara di Bandung.

Tanggal 24 Agustus 2016 saya menuju Kota Bandung. Ini adalah kesempatan kedua ke kota ini. Sebelumnya pada tahun 2010 dan secara tidak sengaja menonton Efek Rumah Kaca di salah satu café di Jalan Sumatera (Jika tidak keliru).

Esok harinya, 25 Agustus sore atau sehari sebelum kembali ke kampung halaman saya di Bima, Nusa Tenggara Barat, saya bersama seorang kawan menuju Omunium Bandung. Saya berharap bisa mendapatkan buku Ucok di sana, setelah pada sehari sebelumnya saya tidak mendapatkannya di toko buku Post Santa Jakarta. Kali ini saya sangat beruntung, karena saya mendapatkan buku cetakan pertama itu.

Ucok dan Pelaksanaan Kata-Kata

“Semua tulisan di buku ini hanya memiliki satu benang merah; musik”. Kalimat tersebut bisa dilihat di halaman 7 pada paragraf kedua. Sebenarnya banyak hal yang menarik dan sangat menggugah ketika mencerna semua tulisan Ucok. Saya selalu bersemangat ketika membaca beberapa catatan di blog pribadinya, www.gutterspit.com. Mulai cerita perihal pengorganisasian komunitas, advokasi masyarakat, review album terbaik ataupun cerita dan pandangannya terhadap realitas sosial yang memiliki irisan dan relasi dengan praktik kekuasaan dan ketidakadilan.

Jika harus memilih, tiga tulisan favorit saya didalam buku ini adalah “10 Lagu Protes Lokal Terbaik”, “Melihat ‘Kekuasaan’ Marx dan Nietzsche Lewat Company Flow dan Patriotism”, “Yang Tersisa dari Perjalanan Mengunjungi Godspeed You! Black Emperor di Kuala Lumpur”.

Pertama, untuk 10 Lagu Protes Terbaik, saya merasa cukup kaget ketika Ucok menulis Bima dalam catatannya di lagu Bongkar milik Swami. Bima adalah daerah kecil di ujung Timur Pulau Sumbawa yang pada tahun 2012 terjadi peristiwa demonstrasi dan solidaritas penolakan akibat dibangunnya perusahaan pertambangan di sana. Namun akhirnya penolakan itu bermuara pada tewasnya warga sipil dan pembakaran kantor Bupati. Mungkin saja tidak banyak yang tahu perihal Bima. Bahkan beberapa kawan saat saya kuliah di Malang, tidak terlalu akrab dengan daerah ini.

Namun, di sini Ucok menempatkan dirinya sebagai seorang yang memiliki kepekaan sosial dan referensi perihal peristiwa yang terjadi di wilayah tanah air. Terutama yang berkaitan dengan isu agraria dan komunitas. Mungkin di sinilah pengalaman emosional tidak langsung saya dengan Ucok tercipta. Asalannya cukup jelas, Bima adalah kampung halaman saya.

Bagi saya, menyimak tulisan “Melihat ‘Kekuasaan’ Marx dan Nietzsche Lewat Company Flow dan Patriotism” sama rasanya seperti mendengar dan mengikuti kuliah filsafat di kelas. Yang membedakan adalah sentuhan musik dan rima yang menyala dalam pemaparannya. Jika tidak berlebihan, tulisan ini bisa dilanjutkan menjadi riset dan paper ilmiah dengan referensi catatan kaki dan kerumitan yang ada di dalamnya.

Mendekati pengujung 2015, saya berteduh dari hujan dan udara yang dingin. Sisi Eropa Istanbul hampir memasuki musim dingin. Dan pukul 6 sore saya harus berjumpa dengan seorang kawan. Saya lupa, ternyata malam itu juga ada konser Godspeed You! Black Emperor di salah satu gedung di pusat kota.

Setiap mendengar Godspeed You! Black Emperor, yang terlintas di kepala saya adalah Ucok. Alasannya sederhana, karena saya pertama kali mendengar nama band ini dari tulisannya “Yang Tersisa dari Perjalanan Mengunjungi Godspeed You! Black Emperor di Kuala Lumpur”.

Dalam sebuah tulisannya, Ucok mengakui bahwa GY!BE tak hanya mengubah pandangannya tapi juga ide tentang merubah dunia. “GY!BE tak hanya merubah banyak pandangan saya tentang musik namun pula pada dunia, pada ide-ide tentang merubah dunia dan apa yang harus dilakukan di hadapannya ketika harapan runtuh dan hidup harus dilanjutkan.”

“Pelaksanaan kata-kata dari apa yang dia tulis, dia lakukan di kehidupan sehari-hari dan mengoptimalkan pengetahuan”, (Cholil efekrumahkaca dalam wawancara Opini Jujur Rolling Stone Indonesia, 16 Maret 2016).

Petikan kalimat di atas adalah pendapat Cholil tentang sosok Ucok. Saya merasa hampir semua kawan akan sepakat dengan hal tersebut. Terlebih, jika memperhatikan dengan jeli ada sesuatu yang istimewa antara keduanya. Lagu ‘Di Udara’ milik efekrumahkaca berada di urutan 3 dalam daftar lagu protes versi Ucok. Pada bagian akhir, Ucok menulis “Sampai sekarang bulu kuduk saya selalu berdiri ketika lagu ini mereka mainkan di panggung.”

Membaca buku ini mengajarkan hal-hal yang terkait dengan pengarsipan, konsistensi, perjuangan, komitmen, penggalian ilmu pengetahuan, musik, rima, filsafat, komunitas ataupun konsekuensi menjadi ‘berbeda’ dengan beberapa orang yang memiliki ideologi dan pemikiran.

Di luar itu semua, buku ini menyimpan “daftar pustaka” musik hip hop, metal, punk dan cara membangun jaringan lewat komunitas, mengambil sikap serta bersedia atas konsekuensi tertentu.

Selain itu, di dalam buku ini Ucok memaparkan kecintaannya terhadap keluarga dan sedikit cerita perihal Guns N’ Roses yang menurutnya masih relevan untuknya. Karena wanita yang diincarnya dulu akhirnya berhasil dinikahi dan menjadi ibu dari anak-anaknya. Tak lupa, Ucok berbagi tentang lokasi favoritnya dulu untuk mendengarkan musik dari walkman. “Tempat favorit kami adalah belakang gedung Sastra di Jatinangor dan perpustakaan di Dipati Ukur,” (halaman 202).

Saya dan mungin beberapa pembaca lainnya masih akan terus menunggu catatan Ucok, baik yang berkaitan dengan musik maupun aktivitas gerakan komunitasnya. Mengutip Taufiq,  “ada beberapa naskah yang lebih layak untuk dibaca oleh khalayak, namun terpaksa kami eliminasi karena kebetulan tidak berhubungan dengan musik” (pada halaman tiga buku ini) semoga akan hadir di masa yang akan datang. Entah dalam bentuk buku ataupun lewat kanal blog pribadinya Ucok.

Organize, Organize, Organize!.

PS: – Poster Homicide yang ada di kamar sudah terendam banjir setinggi 2-3 meter yang menerjang Kota Bima pada 21 dan 23 Desember 2016. Juga CD Fateh pemberian seorang kawan di Bekasi telah bercampur lumpur.

-Bima adalah kampung halaman saya

*Didid Haryadi, Mahasiswa Program Master Jurusan Sosiologi di IstanbulUniversity

Buku.JPG

Judul Buku: Ketika Boombox Usai Menyalak

Penerbit: Elevation Books, Agustus 2016

Penulis: Herry Sutresna

Penyunting: Taufiq Rahman

Desain sampul dan tata letak: Herry Sutresna

Foto isi: Hana Ganria, Syam Perdana

Cetakan I, Agustus 2016

Daftar Tulisan:

  1. Bapa (Versi utuh dari tulisan untuk Majalah Bung No.2, 2011)
  2. Kesunyian dan Politik: John Cage, Godspeed You Black Emperor! Dan Nietzsche (Versi utuh dari tulisan untuk Majalah Jeune, Edisi 25, 2008)
  3. Membaca Ulang Album Kanon Public Enemy Lewat Weingarten (Blogpost di gutterspit.com, July 2011)
  4. Marx, Sartre dan Downset (Tulisan untuk kolom di Newsletter Harder records, 1999)
  5. Got More Rhymes Than I Got Grey Hairs: RIP Adam Yauch (Versi utuh tulisan untuk Majalah Rolling Stone Indonesia, Juni 2012)
  6. Tentang The Shape of Punk to Come Pasca Rilis Ulang Epitaph (Versi utuh dari kolom di website Rolling Stone Indonesia, Oktober 2011)
  7. 10 Lagu Protes Lokal Terbaik (Versi utuh dari tulisan Majalah Rolling Stone Indonesia, Desember 2012)
  8. Amiri Baraka, Kelas Menengah dan Pembangkangan Sipil (Bagian dari blogpost di gutterspit.com, April 2016)
  9. Melihat ‘Kekuasaan’ marx dan Nietzsche Lewat Company Flow Dan ‘Patriotism’ (Blogpost di gutterspit.com, 2011)
  10. Making Punk A Threat Again (Blogpost di gutterspit.com, 2011)
  11. “Ian MacKaye is My Saviour” HC Punk Mixtape (Blogpost di gutterspit.com, Juli 2011)
  12. Suara Rakyat Bukan Suara Tuhan (Versi utuh dari kolom di website Rolling Stone Indonesia, Agustus 2011)
  13. Mengunjungi Kembali Scritti Politti (Kolom di newsletter Lyssa Belum Tidur No.7, April 2005)
  14. Album Baru Refused ‘Freedom’ dan Usainya ‘Punk Masa Depan’ (Blogpost di gutterspit.com, Maret 2013)
  15. Saat Run DMC Mengunjungi Bandung (Blogpost di gutterspit.com, Desember 2013)
  16. Yang Tersisa Dari Perjalanan Mengunjungi Godspeed You! Black Emperor di Kuala Lumpur (Blogpost di gutterspit.com, Desember 2013)
  17. Menempatkan “Perspektif” Dalam Perspektif Pergerakan Skena HipHop Lokal (Catatan Pinggir untuk reissue CD Doys, Perspektif. Grimloc Records, Oktober 2014)
  18. Mixtape Boikot “Bela Negara” (Tulisan pendamping mixtape untuk website Indoprogress, November 2015)
  19. Bagaimana Seorang DJ Meresureksi Eksperimen Lou Reed (Blogpost di gutterspit.com, November 2011)
  20. Matt “Doo” Reid (1971-1998): Ilustrator Yng Memberi Marka Visual Hiphop 90’an (Tulisan untuk fanzine Pena Hitam, Juli 2015)
  21. Andry Moch, A Stone A dan Memori Bulan Mei (Tulisan untuk Jakartabeat, November 2011)
  22. Fight The Power in 1990, Fight Them TodayL 20 Tahun Album Public Enemy ‘Fear of a Black Planet’ (Tulisan untuk Jakartabeat, Juli 2010)
  23. 15 Album Hip Hop Paling Penting di Dekade Pertama 2000 (Tulisan untuk Jakartabeat, Desember 2010)
  24. Hip Hop Kontemplatif dan Rima-Rima Baja Nokturnal Seorang Pemadam Kebakaran (Tulisan untuk Uprock Zine no.5, Agustus 2016)
  25. Baby, I’m A Reinvented Axl (Tulisan untuk The Vein Zine no.8, 2016)
  26. 25 Tahun Streetcleaner; Opus Kemuraman dari Kota Industri (Versi utuh dari catatan pinggir untuk kaset mixtape Decoding Godflesh, Maternal Disaster/Grimloc Records, Mei 2014)
  27. Rondos dan Skena Hardcore Punk Merah Belanda (Unpulished)